“mama…aku mau baju baru…” kalimat itu terus menerus kau ucapkan nak dengan mata sayu yang selalu saja membuatku luluh. “iya sayang… tunggu mama punya uang dulu ya, mudah-mudahan besok mama dapet rejeki, pupu mau baju seperti apa sih?” dan kini kulihat matamu lebih berbinar dengan senyum terukir mengukir sederet gigimu yang belum lama ini tumbuh lengkap, “Pupu mau baju putri ma… warna putih yang banyak pitanya ya!”. Kuanggukkan kepalaku sambil mengusap rambut tipis sebahumu, kau masih belum tahu secuilpun apa itu hidup… kini kau hanya harus selalu merasakan bagaimana hidup yang indah.
Kuangkat tubuh mungilmu dari atas lemari kecil yang kau jadikan tempat favorit saat memakai sepatu sesaat sebelum pergi ke sekolah. “Pupu anak mama cantik sekali sih… mau ketemu temen-temen di sekolah yah?” sambil kuciumi kedua tangan mungilmu. Kau adalah anugerah yang begitu mempesona, aku mensyukuri segala yang ada padamu meski harus kehilangan banyak hal indah di hidupku. Orangtuaku yang adalah kakek dan nenekmu bersikeras untuk mengenyahkanmu dari dalam perutku saat baru beberapa bulan mengandungmu, dan aku lebih memilih tak lagi menjadi bagian dari keluargaku lagi daripada harus membunuhmu. Sekolahku tak lagi kuteruskan karena aku harus menanggung biaya hidup kita sendirian, jangan Tanya kemana perginya Ayahmu karena kami hanya bertemu satu kali dan tak pernah saling mencintai, kelak aku harus mencari Ayah yang sesungguhnya untukmu nak…
“Mama mama mama… Pupu ngantuk…” kau menguap lelah, semalaman kau menungguku pulang, kulihat kau duduk terkantuk-kantuk tepat dibalik pintu kamar kost tempat kita berdua tinggal. Untuk anak sekecilmu kau adalah anak pemberani karena tak pernah rewel dan menjadi menyebalkan meski kutinggal sendirian hingga larut malam. Kugendong tubuh kecilmu sambil berjalan menuju sekolahmu yang tak jauh dari tempat kita tinggal, mungil sekali kamu Pupu… seharusnya kau mendapat gizi yang memadai, seharusnya tubuhmu tak sekurus ini… suatu saat nanti aku harus bisa membuatmu gemuk dan membelikan baju-baju yang kau inginkan. Putri kecilku kini tertidur didalam pelukanku… detak jantungnya berdegup kecil namun cepat, tubuhmu hangat menghangatkan tubuhku yang lelah.
Pikiranku menerawang sambil terus menggendong Pupu dalam dekapku, sudah 3 bulan belum kulunasi iuran bulanan sekolah Pupu, sebenarnya cukup murah untuk ukuran iuran sekolah taman kanak-kanak… Namun tetap saja aku harus menunggaknya. Belakangan ini pekerjaanku sebagai SPG sedikit terhambat karena mereka mengharapkan seorang yang lebih “fresh”. Semalaman aku berkeliling mendatangi rumah teman-temanku untuk meminjam sedikit uang, tapi tak ada satupun yang bisa membantuku. Entah kemana semua yang pernah menganggapku sahabat, dulu tak sungkan aku membantu mereka jika sedang berada dalam kesulitan, namun kini seolah semua kabur meninggalkan aku dan putri kesayanganku, pupu. Tuhan… aku bingung harus kemana lagi mencari pertolongan… untuk makan dan susu Pupu sehari-haripun aku harus bersiap mulai membatasinya, sisa tabungan semasa kuliahku tinggal 50.000 rupiah. Selama ini kupakai untuk biaya melahirkan, perlengkapan Pupu, hingga uang kost bulanan. Tidak ada yang bisa kujual, aku sudah tak punya apa-apa… seluruh perhiasan yang kupunya sudah kugadaikan. Aku tak punya harapan lagi… berikan aku jalan ya Tuhan…
Pikiranku mencuat berhamburan kemana-mana, jalanan pagi itu begitu ramai oleh kendaraan bermotor yang sama berhamburannya seperti pikiranku… Pupu masih berada di dalam pelukku, dan tak sadar kakiku terus melangkah dengan pandangan kosong menyebrangi jalanan saat lampu lalu lintas menunjukkan warna hijau…
Sebuah motor besar menabrak tubuh kami berdua… aku terpental ke arah kiri jalan… Pupu terlepas dari gendonganku dan ikut terpental ke arah berlawanan denganku… sebuah motor yg melintas dibelakang motor yang menabrak kami tak sengaja menyeret tubuh mungilnya hingga beberapa meter. Aku masih tersadar dan berubah lunglai kehilangan kesadaran saat kulihat darah berhamburan dijalanan, aku tak merasakan sakit apapun karena tak satupun luka menggores tubuhku… tapi sakit yang kurasakan begitu dalam karena aku tahu darah itu keluar dari tubuh Pupu…
Mataku terbuka pelan dalam sebuah ruangan putih, “aku dimana? Aku dimana? Mana Pupu? Mana Pupu??” terus menerus berteriak aku memanggil nama Pupu. Mataku berkeliling, ruangan ini dipenuhi orang-orang kukenal, ada orang tuaku, kedua adik perempuanku, sahabat-sahabatku, semua orang yang pernah dekat dengan hidupku dan menghilang saat Pupu datang. Mereka semua menundukkan kepala, sebagian menatapku sedih.
Pupu masih tertidur pulas, namun kali ini tanpa detak dan kehangatan, kuangkat tubuhnya yang mungil dalam balutan kain kafan yang menutupi seluruh tubuhnya. Untuk pertama kalinya dia menginjakkan tubuh di rumah kakek dan neneknya, “sayang mereka hanya mengenal tubuh matimu nak… seharusnya mereka tahu betapa lucu dan baiknya kamu”. Aku tersungkur pasrah saat melihat butiran-butiran tanah mulai menutupi kuburmu, “Ini salah mama… ini semua salah mama nakk… Pupuuu… Pupuuu…” histeris aku melihat harta kesayanganku, belahan jiwaku, terendap didalam tanah meninggalkan sesal yang begitu dalam dalam benakku. Aku belum sempat membelikan baju putri berwarna putih idamanmu…
10 Tahun sudah berlalu semenjak kematian Pupu, aku kembali ke pelukan kedua orangtuaku setelah 10 tahun yang lalu kulihat Ibuku terpukul melihat fisik Pupu yang cantik dan mirip dengannya sudah tak bernyawa lagi, Bapak memohon ampun atas tindakannya mengusirku dulu, kedua adik perempuanku tak kuasa menahan tangis menyesali apa yang telah mereka perbuat padaku. Aku berhasil melanjutkan sekolah hingga S2, dan kini bekerja memimpin sebuah perusahaan kecil-kecilan. Pernikahanku sudah berjalan hampir 6 Tahun, suamiku adalah seorang yang baik hati, menerima masa lalu dan menyayangi almarhumah putriku meski tak pernah berjumpa.
“Pupu sekarang punya adik laki-laki… namanya Putra. Mama heran siapa yang mengajari adikmu ini memanggil namanya sendiri dengan sebutan ‘Pupu’, ini pasti Pupu yang ajarin yah?”, aku terus asal berbicara sekenanya diatas nisan Pupu… agak tegang dan bingung setelah sekian lama tak pernah kuat untuk mendatangi rumah peristirahatannya. Kubawa Putra, anak semata wayangku hasil pernikahanku dengan Bimo suamiku. Aneh, Putra yang memanggil namanya sendiri dengan panggilan “Pupu” tampak tenang siang itu, umurnya kurang lebih seumur Pupu saat terakhirkali Pupu bernafas, dia berlarian senang mengelilingi rumah peristirahatan Pupu. Tak kuasa aku menahan tangis, seandainya Pupu masih ada… mungkin dia akan menjadi kakak perempuan yang baik bagi Putra adiknya… mungkin Putra tak akan kesepian seperti sekarang, bermain sendirian tanpa teman.
“Putra sayang, dadah dulu sama kak Pupu…”, kuajak Putra beranjak pulang meninggalkan makam Pupu. Putra yang baru belajar bicara menghentikan langkahnya sambil menatapku heran, “Ko dadah cih ma? Kak pupu kan ikut kita pulang ma, kak Pupu kan nemenin Pupu main di lumah cetiap hali..” ( baca : ko dadah sih ma? Kak Pupu kan ikut kita ma, kak Pupu nemenin Pupu main di rumah setiap hari)